Dilema Pendidikan Formal dan Masa Depan Orang Rimba

Admin/admin 20 Juni 2016 Kegiatan
img

Liputan6.com, Jambi - Berdasarkan catatan dan pendataan KKI Warsi Jambi 2010 lalu, populasi Orang Rimba Jambi mencapai hampir 5.000 jiwa.

Keberadaannya menyebar di beberapa kawasan hutan di daerah itu seperti TNBD (1.700 jiwa), Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) (500 jiwa) dan sebagian lainnya berada di sepanjang jalur lintas Sumatra sekitar 1.500 jiwa. 

Keberadaan warga Rimba makin terdesak oleh pembukaan lahan baik secara perorangan maupun perusahaan. Tak jarang, beberapa kali terjadi konflik antara kelompok orang rimba dengan masyarakat maupun perusahaan. Maka itu, mereka membutuhkan pendidikan sebagai penyangga kehidupan.

Kemampuan Anak Rimba menyerap pendidikan tidak kalah dari anak-anak di luar hutan. Sasa, salah satu fasilitator pendidikan KKI Warsi yang ada di kawasan TNBD mengatakan, Beteguh merupakan salah satu Anak Rimba yang memiliki kemampuan akademik menonjol di sekolahnya.

Sejak berada di tingkat SD, Besudut kerap mendapat ranking 1 dan menerima berbagai penghargaan di sejumlah perlombaan.

Karena kemampuannya yang menonjol, Beteguh dijadikan kader pendidikan (guru rimba) bagi sedikitnya 50 anak rimba yang tinggal di dalam hutan TNBD.

Meski begitu, untuk mengajak anak-anak Rimba bisa belajar membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. 

"Anak Rimba tidak bisa dipaksa atau disanksi seperti anak pada umumnya, mengingat kebiasaan anak Rimba hidup bebas di dalam hutan. Untuk itu, kami selalu memberikan masukan dan bujukan bagaimana pentingnya sekolah untuk kehidupan yang akan datang," jelas Sasa.

Ia menyebutkan, dalam proses pendampingan KKI Warsi selama kurang lebih 15 tahun, sudah ada sekitar 400 anak-anak Rimba Jambi yang sudah bisa membaca dan menulis.

Proses itu menunjukkan perjuangan keras yang harus dijalani mengingat adat istiadat kerimbaan yang sangat melekat dan dipegang teguh masyarakat Rimba. 

Untuk itu, Sasa berharap pemerintah lebih memperhatikan hak anak-anak rimba untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Meski sudah tersedia fasilitas belajar berupa kelas jauh atau sekolah satu atap, khususnya di Pemkab Sarolangun, jumlahnya masih belum cukup. Begitu pula dengan jumlah tenaga pendidik Anak Rimba.

"Begitu juga dengan metode ujian nasional. Sebagian besar anak-anak Rimba kesulitan dalam memahami soal karena kendala bahasa. Kami ke depan akan mendorong adanya metode bahasa soal UN bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Rimba," kata Sasa.



Comment



Post Comment

Nama
Email
Komentar
Artikel Lainnya